Dradjat Wibowo, ekonomi SDI. |
Penangkapan petinggi parpol terkait impor daging sapi yang terjadi baru-baru ini menunjukkan bahwa mafia impor itu benar adanya. Keberadaan mafia yang sejak lama disuarakan para ekonom yang kritis terhadap pemerintah itu kini tak bisa disangkal lagi.
Impor daging sapi adalah bagian dari kebijakan impor pangan oleh pemerintah. Kebijakan ini diberlakukan bukan karena menyeimbangkan 'supply-demand', melainkan demi mendulang uang berlimpah secara cepat. Dari situlah oknum tertentu, baik politisi ataupun bukan, mengeruk untung.
Mafia impor sapi terbentuk bukan tanpa sebab. Mulanya hampir sama dengan mafia impor kedelai. Komoditi itu dikuasai oleh hanya belasan pengimpor. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian lantas membuka lebih banyak pengimpor dengan dalih mendobrak dominasi belasan pemain kelas kakap itu. Tetapi faktanya, sebagian besar pengimpor baru hanyalah berjualan izin atau meminjam bendera perusahaan. Kalaupun benar-benar mengimpor, jumlahnya sangat kecil.
Itulah sebabnya, mekanisme kuota justru memudahkan pembagian uang haram. Pemain baru lebih senang mengambil fee yang dihitung dari per kilogram daging. Tentu ada oknum tertentu dari politisi atau nonpolitisi yang bisa membekingi pemain baru. Sedangkan belasan pemain besar yang telanjur berkuasa tetap mendapatkan kuota. Hanya, mereka perlu menyediakan imbalan tertentu bagi siapa saja yang berjasa membantu mendapatkan kuota.
Persoalannya, dari manakah duit untuk membayar fee? Cukup banyak sumbernya. Pertama, dari pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dengan berbagai alasan, para mafia sukses memperjuangkan PPN atas impor daging. Akibatnya, selama periode Januari 2010-Juli 2011 negara kehilangan PPN sebesar Rp 546 miliar, hanya dari daging sapi (termasuk jeroan).
Berdasarkan data Ditjen Bea cukai, jumlah impor daging sapi tahun 2010 adalah sebanyak 90,54 juta kilogram daging dan 49,59 juta kilogram jeroan atau daging sisa. Totalnya, 140,14 juta kilogram. Pada periode Januari hingga Juni 2011, impor daging sebesar 25,08 juta kilogram dan impor jeroan sebanyak 16,39 juta kilogram sehingga ditotal jadi 41,47 juta kilogram.
Dari jumlah tersebut, PPN yang harus dibayar adalah sebesar Rp 548,8 miliar. Pajak itu dibebankan kepada 49 importir. Dana yang dibayarkan kepada negara hanya Rp 2,8 miliar. Sisanya, sebanyak Rp 546 miliar dibebaskan sehingga otomatis jadi tambahan keuntungan bagi importir. Rakyat Indonesia sama sekali tidak diuntungkan dari pembebasan PPN tersebut. Negara kehilangan penerimaan, sementara rakyat tetap dibebani harga daging yang melonjak.
Uniknya, jumlah pembebasan PPN tersebut setara dengan fee haram yang harus dibayarkan importir kepada oknum-oknum yang 'membantu' mereka di tiap tikungan. Informasi yang beredar di lapangan, fee itu besarnya Rp 5.000 per kg daging dan Rp 2.00 per kg jeroan/daging sisa. Jika dikalikan dengan data impor tadi, maka diperoleh angka sekitar Rp 452,5 miliar ditambah Rp 99 miliar, jadi Rp 551,5 miliar. Besar dugaan, pembebasan biaya PPN memang digunakan untuk membayar sogokan bagi oknum parpol dan nonparpol.
Kedua, sumber uang dari pemindahan klasifikasi antara daging dengan jeroan/daging sisa. Importir harus membayar bea masuk sebesar 5 persen terhadap nilai pabean dari barang yang diimpor. Nilai pabean dihitung berdasarkan harga CIF (Cost, Insurance, and Freight) atau nilai patokan tertentu yang ditetapkan Ditjen Bea Cukai. Karena harga CIF jeroan lebih rendah ketimbang daging, impor nakal akan mengurangi kewajiban bea masuk. Caranya, melaporkan seolah-olah mengimpir jeroan/daging sisa, padahal yang diangkut adalah daging.
Pola ini terjadi dalam kasus empat perusahaan importir, yaitu IGU, IP, SLP dan BMA. Polanya terdeteksi setelah laporan impor yang tercatat pada Ditjen Bea Cukai dibandingkan dengan catatan Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian. Ternyata ada selisih angka atau perbedaan data di antara keduanya. Data impor jeroan di Ditjen Bea Cukai menunjukkan angka 23,2 ribu ton lebih besar daripada di Kementerian Pertanian. Jelas saja negara kehilangan penerimaan bea masuk. Dari manipulasi yang dilakukan empat importir saja, negara bisa kehilangan PPN dan PPh sebesar Rp 48,5 miliar.
Ketiga, sumber fee diambil dari permainan harga di pasar. Meskipun kasat mata, estimasi kerugian negara dari sumber ini sulit dijelaskan.
Modus Kejahatan dan Muasal Kebijakan
Dari tiga pola penggalian sumber fee, dapat diketahui modus kejahatan para pelaku kasus impor bahan pangan. Modus pertama, melebih-lebihkan estimasi kebutuhan komoditi pangan. Caranya, memperbesar perbedaan antara pasokan dan permintaan sehingga terkesan bahwa impor harus dilakukan.
Modus kedua, membuat lonjakan harga komoditas pangan pada bulan-bulan tertentu. Dari situlah impor pangan dijustifikasi. Modus ketiga, mendorong kemudahan perpajakan sehingga importir mendapat untung besar dari pembebasan PPN, bea masuk, dan PPh yang dapat dibagi kepada politisi, birokrat dan oknum lain yang terlibat. Modus keempat, memainkan berbagai mekanisme pengaturan semisal kuota impor. Padahal faktanya, impor setiap komoditas pangan hanya dikuasai segelintir pemain. Mekanisme inilah yang memudahkan praktik bagi-bagi uang haram dari impor.
Kejahatan di balik kebijakan impor ini tidak akan terjadi jika sistem produksi pangan di Indonesia tidak telanjur rusak. Muasalnya adalah penandatanganan Letter of Intent (LoI) antara pemerintah RI dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada Januari 1998.
Melalui LoI tersebut, peranan Bulog sebagai lembaga sentral stabilisasi harga pangan dikebiri. Kredit likuiditas pangan juga dilarang. Akibatnya, Bulog kehilangan daya untuk menjaga mekanisme harga dasar, harga atas, manajemen stok dan operasi besar yang semula efektif mengendalikan harga pangan terutama di masa krisis. Memang betul, korupsi yang bersumber dari monopoli Bulog harus dilenyapkan. Tetapi pemberantasan korupsi tak harus melumpuhkan sistem stabilisasi pangan. Ibaratnya, memberantas tikus di lumbung tak perlu dengan membakar lumbungnya.
Dampak kerusakan terbesar dari LoI dengan IMF adalah perubahan orientasi kebijakan. Pada masa Soeharto, para pembuat kebijakan berorientasi pada swasembada serta pengamanan produksi dan harga bagi petani. Sesudah LoI, orientasi kebijakan menjadi sangat pro terhadap impor pangan. Perubahan orientasi inilah yang sering dikritisi oleh sebagian ekonom.
Penulis bersama para ekonom itu tidak anti-asing dan tak pula anti-impor. Kami hanya mengingatkan bahwa permainan impor daging terjadi di semua lini dari hulu ke hilir. Semua pihak di kalangan birokrasi dari Ragunan hingga Lapangan Banteng saling bantu untuk mengamankan permainan ini. Merekalah yang melindungi para pemain impor di tiap tikungan. Para pemain dan beking mempermainkan aturan supaya bisa mengeruk untung berlimpah dengan cepat dan lolos jerat hukum. Ingat, bukankah kita masih menganut asas bahwa kebijakan tidak bisa diadili?
Sebagai doktor ilmu pertanian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mestinya paham permainan impor ini dan mampu mengoreksinya. Saya berharap, sisa masa pemerintahan ini dapat dimanfaatkan oleh SBY dan tim ekonominya untuk mengembalikan orientasi kebijakan pangan ke arah swasembada yang menguntungkan rakyat.
*Dradjad H Wibowo, ekonom Sustainable Development-Indonesia (SDI)
Post a Comment