Untuk Bisnis Penyiaran, Sinergi antara Regulator dan KPPU Diperlukan - KOMPETISINEWS | INFO PERSAINGAN USAHA

.


Home » , , , , » Untuk Bisnis Penyiaran, Sinergi antara Regulator dan KPPU Diperlukan

Untuk Bisnis Penyiaran, Sinergi antara Regulator dan KPPU Diperlukan

Written By Redaktur on Monday, April 22, 2013 | 12:14 AM

Fokus KPPU pada persaingan usaha di industri pertelevisian, untuk regulasi penyiarannya otoritasnya ada di KPI. 
Melihat kondisi bisnis penyiaran di Indonesia, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) M. Nawir Messi menuturkan, mesti ada sinergi antara regulator dan KPPU. Sebab, selama ini terdapat fenomena yang memersepsikan bahwa interaksi bisnis antara pelaku penyiaran dan pasar ada di bawah KPPU.

Padahal, dari payung hukumnya saja, keduanya sudah berbeda. Landasan hukum regulator penyiaran adalah Undang-Undang Penyiaran, sedangkan KPPU berpegang pada Undang-undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

"Fokus KPPU adalah persaingan usaha, sedangkan Kominfo dan KPI adalah monopoli informasi, aspek teknis, dan konten yang ada di UU Penyiaran," tandas M. Nawir Messi. 
Pemerintah didesak segera merapikan kondisi penyiaran televisi di Indonesia yang sudah karut-marut melalui revisi Undang-Undang Penyiaran.



Amandemen UU Penyiaran
Ade Armando, pengamat komunikasi dari Universitas Indonesia membeberkan banyak lubang sistem penyiaran di Indonesia. Ambil isu teranyar yang menyebut pengusaha Chairul Tanjung berencana membeli perusahaan penyiaran PT Visi Media Asia Tbk milik Bakrie. Nilai pembelian perusahaan yang menaungi TV One, ANTV dan portal berita Vivanews tersebut sebesar US$1,8 miliar atau Rpl7,5 triliun. Jika rencana itu terwujud. Chairul akan memiliki empat stasiun televisi.

"Apa salah menurut aturan penyiaran? Apa boleh satu grup perusahaan memiliki empat stasiun televisi? Aturan soal itu memang tidak jelas," kata Ade saat diskusi penyiaran di Indonesia Broadcasting Expo, Kamis (18/4).

Menurutnya, masalah utama penyiaran di Indonesia adalah ketidakpastian dan ketidaktegasan hukum. Amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tidak tegas dan konsisten saat dilaksanakan. "Tampaknya, kekacauan ini sudah kita terima sebagai sebuah kewajaran," ucap Ade.

Lebih lanjut dia mengatakan, aturan tentang pembatasan kepemilikan lembaga penyiaran dirancang tanpa argumen logis dan realistis. Aturan itu pun tidak pernah dilaksanakan. "Pengaturannya berlangsung secara akrobatik. Dunia penyiaran televisi kita ironis," kata Ade.

Kondisi lain yang dinilainya berantakan yakni lembaga penyiaran komunitas dan sistem siaran jaringan. Stasiun-stasiun televisi nasional, antara lain RHI, TV One, dan Trans TV tidak menerapkan sistem jaringan.

Televisi Lokal
Mereka hanya membangun menara pemancar, tanpa mendirikan stasiun televisi lokal. Kondisi ini berbeda dari TVRI yang sudah lama membangun stasiun televisi lokal. Maka, kita kerap mendengar TVR1 Jawa Barat atau TVR1 Sumatra Selatan.

Dampaknya sungguh besar. Industri televisi lokal tidak terbangun. Tidak ada pemerataan lapangan kerja, semua lari ke Jakarta. Pemasukan pun begitu, tidak ada yang mengalir ke daerah, semua menderas ke Jakarta. Iklan pemilihan kepala daerah sekalipun, uangnya mengalir ke Ibu Kota. "Yang dirugikan di sini adalah masyarakat." ucap Ade.

Tak hanya itu, masyarakat pun merugi karena tidak memperoleh konten lokal. Padahal, menurut Ade, lewat konten lokal masyarakat daerah lebih paham kondisi daerahnya. Konten tidak seharusnya 100% berasal dari Jakarta, kontribusi konten lokal haruslah lebih besar untuk stasiun televisi lokal.

"Menurut undang-undang, seharusnya sejak dulu semua stasiun televisi bersiaran dengan sistem jaringan. Saya menyalahkan pemerintah atas kondisi ini karena pemerintah tidak mengeluarkan aturan yang aplikatif," tutur Ade.

Undang-Undang Penyiaran dinilai Ade tidak menjelaskan secara terperinci stasiun televisi harus seperti apa. Dia curiga pemerintah berusaha menyenangkan hati industri penyiaran. Dari kondisi ini, industri penyiaran memperoleh keuntungan yakni hemat ongkos.

Solusinya, Undang-Undang Penyiaran yang baru harus dilahirkan. Sampai saat ini DPR sudah punya draft, pemerintah tidak menjawab."

Share this article :

Post a Comment

 
Copyright © 2011. KOMPETISINEWS | INFO PERSAINGAN USAHA - All Rights Reserved
Developed by kuntoprastowo | Template by Maskolis
Proudly powered by Blogger