![]() |
| Tingkat suku bunga pinjaman bank di Indonesia masih tertinggi di ASEAN. |
Ketua ASEAN Competitiveness Institute, Soy Martua Pardede, di Jakarta, dalam sebuah diskusi akhir pekan lalu, mengatakan selama ini di sektor perbankan ada masalah yang sering disebut kartelisasi, khususnya penetapan suku bunga kredit. Kendati demikian, tudingan tersebut sulit dibuktikan.
"Kartelisasi di perbankan nuansa dan baunya ada, tapi apa Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sanggup mencari kartel di sana apakah bisa dibuktikan? Saya sebagai mantan Komisioner KPPU, itu sangat sulit dibuktikan," tandas Soy.
Menurut Soy, permasalahan suku bunga kredit yang tinggi itu disebabkan NIM perbankan yang dipertahankan tinggi karena mereka melakukan akumulasi permodalan untuk menghadapi persaingan bank-bank di tingkat regional.
Dalam interaksi KPPU dengan Bank Indonesia dan pimpinan Perhimpunan Bank-bank Nasional (Perbanas), terindikasi ada peluang menurunkan suku bunga, tapi kenyataannya tidak bisa turun sehingga menimbulkan kecurigaan adanya kartelisasi.
"Cuma kartel itu melalui kesepakatan antara perbankan atau tidak? Itu pertanyaannya. Karena bisa saja terjadi suatu kerja sama atau polarisasi suatu kebijakan membuahkan NIM yang tinggi, tapi bisa juga bukan kesepakatan karena proses market leadership," urai Soy.
Banyak pihak sering kali menyalahartikan bahwa perbankan di Indonesia sangat bersaing, padahal inti persaingan adalah lahirnya produk yang lebih baik dan harga yang lebih bersaing. Jika ada persaingan, dua syarat tersebut harus tercapai, namun yang terjadi harga masih cukup tinggi dan mutu pelayanan masih rendah.
"Berarti itu bukan persaingan. Kecurigaan di perbankan mungkin bukan kartel, tapi kemungkinan adalah suatu kondisi sulit terjadinya persaingan yang terbuka," jelas Soy.
Kendati demikian, masalah yang terjadi di perbankan nasional ini, lanjut Soy, jangan diatasi dengan pendekatan hukum karena akan mengganggu pasar dan rasa keadilan masyarakat. Solusinya adalah dari sisi kebijakan yang memadai agar hal-hal yang tidak bisa diatasi penegak hukum dapat diselaraskan.
"Misalnya penurunan suku bunga atau kenaikan suku bunga itu tidak cukup, harus ada kebijakan selektif menurut sektor. BI dan OJK dapat merumuskannya lebih spesifik dan rinci karena ahli di bidangnya dan dari aspek persaingannya KPPU bisa diajak kerja sama," saran Soy.
Sejatinya, tambah Soy, industri perbankan di Indonesia salah kaprah karena mengambil akumulasi dana yang dipakai untuk masuk ke regional banking adalah besaran modal. Namun, perbesaran modal/aset tidak selalu menjawab tantangan ke depan karena hancurnya globalisasi tahun 2008 di Amerika Serikat merupakan satu contoh yang perlu diperhatikan.
![]() |
| Direktur INDEF Enny Sri Hartati |
"Kalau salah satu bank saja menurunkan, maka nasabah besar pindah. Sekarangkan rebutan, padahal kebutuhan pembiayaan kita tinggi sekali," kata Enny.
"Kalau dilihat pertumbuhan kredit dan dana pihak ketiga (DPK) lebih kencang kredit, artinya perbankan memerlukan ekspansi dana yang besar, makanya berbagai macam instrumen dilakukan salah satunya tingkat suku bunga jadi tinggi," tukas Enny.







Post a Comment