Tingginya harga kebutuhan pokok dalam satu semester ini dan saat Ramadhan maupun menjelang lebaran ditengarai karena ulah pelaku kartel. Tata niaga impor harus dirombak. |
Pemerintah disarankan segera merombak tata niaga impor pangan nasional. Ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan sangat rentan spekulasi dan nilai potensi kartel yang mencapai 11,34 triliun rupiah.
"Selama ini, persediaan pangan nasional tidak seimbang. Demand banyak, sementara supply kurang," kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pemberdayaan Daerah dan Bulog, Natsir Mansyur, di Jakarta, Rabu (17/7).
Menurut catatan Kadin, potensi kartel dari enam komoditas strategis meliputi daging sapi, daging ayam, gula, kedelai, jagung, dan beras. "Nilai potensi kartel ini belum termasuk dengan komoditas lainnya yang juga berpengaruh pada tata niaga pangan," tegas Natsir.
Jika dirinci, perkiraan kebutuhan konsumsi nasional dengan nilai potensi kartel pada kebutuhan daging sapi diperkirakan mencapai 340.000 ton atau sekitar 340 miliar rupiah, daging ayam 1,4 juta ton sekitar 1,4 triliun rupiah.
Selanjutnya, gula sebanyak 4,6 juta ton mencapai 4,6 triliun rupiah, kedelai 1,6 juta ton 1,6 triliun rupiah, jagung 2,2 juta ton 2,2 triliun rupiah, dan beras impor 1,2 juta ton kartelnya diperkirakan mencapai 1,2 triliun rupiah.
Gambaran seperti itu diakibatkan karena penataan manajemen pangan nasional yang sangat lemah dari aspek produksi, distribusi, dan perdagangannya.
Pengelolaan kebijakan pangan oleh pemerintah dinilai masih sangat sentralistik karena Kemendag, Kementan, dan Kemenperin tidak Ikhlas menyerahkan kebijakan tata niaga pangan ke pemerintah daerah yang sebenarnya lebih tahu akan kebutuhan daerahnya.
Hal sama juga diungkapkan anggota Komisi VI DPR, Lili Asdjudiredja. Menurutnya, spekulasi dan kartel di sektor pangan akibat kementerian yang mengurusi sektor pangan tidak transparan dalam mengumumkan importir pangan tersebut.
"Melonjaknya harga pangan pada saat Ramadan ini, seperti daging sapi, bawang, dan cabai sebenarnya bukan karena faktor kuota, melainkan praktik kartel yang bermain di dalamnya," katanya.
Menurut Lili, transparansi dalam mengumumkan pihak importir bisa menjadi solusi menghindari pembengkakan harga pangan yang kerap terjadi selama ini.
Dia menambahkan, jika kementerian terkait transparan dalam mengumumkan siapa pihak importir, misalnya, berapa jatah, tempat pembelian, dan berapa harganya, maka akan mudah menghindari pembengkakan harga.
"Selama ini, persediaan pangan nasional tidak seimbang. Demand banyak, sementara supply kurang," kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pemberdayaan Daerah dan Bulog, Natsir Mansyur, di Jakarta, Rabu (17/7).
Menurut catatan Kadin, potensi kartel dari enam komoditas strategis meliputi daging sapi, daging ayam, gula, kedelai, jagung, dan beras. "Nilai potensi kartel ini belum termasuk dengan komoditas lainnya yang juga berpengaruh pada tata niaga pangan," tegas Natsir.
Jika dirinci, perkiraan kebutuhan konsumsi nasional dengan nilai potensi kartel pada kebutuhan daging sapi diperkirakan mencapai 340.000 ton atau sekitar 340 miliar rupiah, daging ayam 1,4 juta ton sekitar 1,4 triliun rupiah.
Selanjutnya, gula sebanyak 4,6 juta ton mencapai 4,6 triliun rupiah, kedelai 1,6 juta ton 1,6 triliun rupiah, jagung 2,2 juta ton 2,2 triliun rupiah, dan beras impor 1,2 juta ton kartelnya diperkirakan mencapai 1,2 triliun rupiah.
Gambaran seperti itu diakibatkan karena penataan manajemen pangan nasional yang sangat lemah dari aspek produksi, distribusi, dan perdagangannya.
Pengelolaan kebijakan pangan oleh pemerintah dinilai masih sangat sentralistik karena Kemendag, Kementan, dan Kemenperin tidak Ikhlas menyerahkan kebijakan tata niaga pangan ke pemerintah daerah yang sebenarnya lebih tahu akan kebutuhan daerahnya.
Hal sama juga diungkapkan anggota Komisi VI DPR, Lili Asdjudiredja. Menurutnya, spekulasi dan kartel di sektor pangan akibat kementerian yang mengurusi sektor pangan tidak transparan dalam mengumumkan importir pangan tersebut.
"Melonjaknya harga pangan pada saat Ramadan ini, seperti daging sapi, bawang, dan cabai sebenarnya bukan karena faktor kuota, melainkan praktik kartel yang bermain di dalamnya," katanya.
Menurut Lili, transparansi dalam mengumumkan pihak importir bisa menjadi solusi menghindari pembengkakan harga pangan yang kerap terjadi selama ini.
Dia menambahkan, jika kementerian terkait transparan dalam mengumumkan siapa pihak importir, misalnya, berapa jatah, tempat pembelian, dan berapa harganya, maka akan mudah menghindari pembengkakan harga.
"Kami juga meminta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), harus slap bekerja sungguh-sungguh membongkar keberadaan praktik kartel. Bahkan, jika perlu KPPU diberi kewenangan lebih untuk membongkar praktik kartel, agar bisa melakukan penggeledahan dan penyitaan dalam upaya penyelidikan perusahaan nakal sehingga kinerja KPPU tidak lamban seperti sekarang," katanya.
Pengamat pangan, Bustanul Arifin, mengatakan pemerintah harus transparan soal harga pangan. "Keterbukaan itu dinilai dapat membantu petani di level hulu hingga konsumen yang berada di hilir. Dengan keterbukaan ini, akan menutup ruang gerak spekulan untuk memainkan harga," katanya.
Salah satu caranya, menurut dia, adalah secara kontinu memberikan informasi harga pangan di Tanah Air. Dengan informasi yang berkelanjutan dan tepat, diharapkan dapat mencegah adanya permainan harga pangan di pasar.
Soal Daging Sapi
Terkait masih masih tingginya harga daging sapi di pasaran, Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan, mengatakan bahwa pemerintah akan mengimpor sapi siap potong, di luar kuota impor 3.000 ton daging asal Australia oleh Badan Urusan Logistik (Bulog), untuk melakukan stabilisasi harga di pasar.
"Kami mengambil sikap untuk mendatangkan pasokan dari luar dalam bentuk sapi siap potong. Insya Allah dengan cara ini, kita akan mencapai harga rata-rata daging sapi sama dengan harga tahun lalu, yakni 75.000 rupiah," kata Gita.
Post a Comment