Upaya Bank Indonesia (BI) menekan spekulasi penjualan properti tak hanya berimbas pada bank penyalur kredit pemilikan rumah (KPR). Industri asuransi, yang memberikan proteksi properti juga akan terkena imbas.
Rinawati, Direktur Pemasaran Asuransi Mitra Maparya, menilai perolehan premi properti bisa anjlok, jika bank penyalur KPR mengalami penurunan. "Apalagi, sektor properti di Mitra Maparya tidak hanya untuk rumah pertama tapi juga rumah kedua," kata dia, Senin (15/7). Saat ini, Asuransi Mitra Maparya bekerjasama dengan lima bank.
Meski begitu, Rinawati melihat, kebutuhan pasar akan rumah masih tinggi, sehingga ada peluang pertumbuhan di bisnis asuransi ini. Perusahaan asuransi biasanya menyediakan penjaminan atas kerugian atau kerusakan pada harta benda akibat kebakaran, bencana alam termasuk banjir, tanah longsor, gempa bumi dan akibat letusan gunung berapi, hingga kerusuhan.
Hingga Mei lalu, perolehan premi Mitra Maparya mencapai Rp 115 miliar, tumbuh 20% dibandingkan tahun lalu. Hingga akhir tahun target perolehan premi mencapai Rp 300 miliar dengan kontribusi premi properti 15%.
"Memang secara premi terbilang murah karena risikonya terbilang kecil," kata Rinawati. Dari pengalaman sebelumnya, asuransi properti biasanya baru menerima banyak tagihan klaim jika terjadi kerusakan akibat bencana alam.
Seperti diberitakan sebelumnya, per September mendatang, BI berencana menaikkan uang muka KPR Rumah kedua dengan tipe di atas 70 meter persegi, uang muka naik menjadi 40%, sedangkan rumah ketiga hingga 50%.
Rachman Notowibowo, Direktur Properti Asuransi Binagriya Upakara, juga meramal akan ada penurunan permintaan. Namun, penyempitan permintaan ini diperkirakan tidak akan memicu perang tarif berkobar lebih besar. "Dampaknya mungkin tidak lama," kata dia, yang yakin permintaan KPR akan menanjak kembali. Binagriya saat ini mematok premi properti di bawah 0,05%o (permil).
Saat ini, industri asuransi masih belum memiliki patokan tarif asuransi properti sehingga rentan terjebak dalam perang tarif. Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) pernah mematok tarif 0,045% -0,5% dari nilai pertanggungan. Namun, patokan ini akhirnya batal lantaran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memperingatinya dengan dugaan kartel tarif. Kini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK mencoba menggodok kembali pengaturan tarif properti untuk menghindari perang tarif.
Post a Comment