Harga kebutuhan pokok semakin melambung, ada indikasi kartel dibaliknya? |
Upaya stabilisasi harga bahari kebutuhan pokok seharusnya bersifat jangka panjang dan bukannya temporer seperti melakukan impor atau operasi pasar.
Pemihakan kepada petani serta perlindungan terhadap produksi dan distribusi harus menjadi agenda utama pemerintah dalam mengatasi lonjakan harga kebutuhan pokok.
Pendapat itu disampaikan pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) Aris Yunanto dan Director Econit Advisory Group Hendri Saparini, yang dihubungi secara terpisah.
Pemerintah, menurut Aris Yurjanto, cenderung mengabaikan kesulitan ekonomi yang dihadapi masyarakat. Ia mencontohkan, saat ini seluruh masyarakat tengah sibuk mengurus harga-harga yang terus naik menjelang Lebaran. Tetapi, pemerintah hanya mengandalkan langkah-langkah operasi pasar yang sifatnya hanya temporer.
"Yang dipikirkan masyarakat itu bukan hanya masalah kenaikan harga menjelang puasa dan Lebaran, tetapi juga setelah itu. Sayangnya, penyelesaian yang diberikan pemerintah hanya sementara. Seharusnya, pemerintah memiliki jurus-jurus penyelesaikan masalah ekonomi untuk jangka pendek dan jangka panjang," tutur dia.
Terkait adanya birokrat yang bermain dalam pusaran harga, menurut Aris, secara kelembagaan tentu tidak ada. Tetapi, oknum-oknum di balik semua itu sangat mungkin ada. Menurutnya, jika ada permainan harga yang menyangkut distribusi, pasokan, dan kebutuhan, tentu melibatkan oknum pejabat pemerintah.
"Kan, yang tahu masalah distribusi, pasokan, dan kebutuhan barang adalah pemerintah. Kalau ada permainan, sangat mungkin oknum-oknum pemerintah ada di dalamnya," katanya.
Pemihakan kepada petani serta perlindungan terhadap produksi dan distribusi harus menjadi agenda utama pemerintah dalam mengatasi lonjakan harga kebutuhan pokok.
Pendapat itu disampaikan pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) Aris Yunanto dan Director Econit Advisory Group Hendri Saparini, yang dihubungi secara terpisah.
Pemerintah, menurut Aris Yurjanto, cenderung mengabaikan kesulitan ekonomi yang dihadapi masyarakat. Ia mencontohkan, saat ini seluruh masyarakat tengah sibuk mengurus harga-harga yang terus naik menjelang Lebaran. Tetapi, pemerintah hanya mengandalkan langkah-langkah operasi pasar yang sifatnya hanya temporer.
"Yang dipikirkan masyarakat itu bukan hanya masalah kenaikan harga menjelang puasa dan Lebaran, tetapi juga setelah itu. Sayangnya, penyelesaian yang diberikan pemerintah hanya sementara. Seharusnya, pemerintah memiliki jurus-jurus penyelesaikan masalah ekonomi untuk jangka pendek dan jangka panjang," tutur dia.
Terkait adanya birokrat yang bermain dalam pusaran harga, menurut Aris, secara kelembagaan tentu tidak ada. Tetapi, oknum-oknum di balik semua itu sangat mungkin ada. Menurutnya, jika ada permainan harga yang menyangkut distribusi, pasokan, dan kebutuhan, tentu melibatkan oknum pejabat pemerintah.
"Kan, yang tahu masalah distribusi, pasokan, dan kebutuhan barang adalah pemerintah. Kalau ada permainan, sangat mungkin oknum-oknum pemerintah ada di dalamnya," katanya.
Tidak terkontrolnya kenaikan harga barang kebutuhan pokok setiap menjelang bulan puasa dan Lebaran, dinilai Hendri Saparini, sebagai bentuk ketidakmampuan pemerintah. Ini yang terus dijadikan celah oleh pelaku kartel dalam mengendalikan harga-harga barang. Pemerintah tidakmampu berbuat apa-apa.
Menurut dia, pemerintah terkesan selalu menggampangkan masalah yang memang tidak pernah bisa diselesaikan. Konyolnya, itu selalu terjadi setiap tahun, seperti kenaikan harga barang kebutuhan pokok.
Senada dengan Aris, dia juga menyatakan operasi pasar dan menggelar pasar murah adalah solusi yang selalu ditawarkan pemerintah saat kenaikan harga itu terjadi. Bahkan, jika kedua komponen itu tetap tidak bisa membendung kenaikanharga, dengan gampang impor menjadi jalan keluar yang diambil pemerintah untuk mengguyur pasar agar terjadi penurunan harga.
"Seharusnya solusinya adalah jangka panjang, seperti peningkatan produksi serta perlindungan harga terhadap barang kebutuhan pokok seperti yang banyak dilakukan negara-negara maju," kata Hendri.
Dia menegaskan, seperti kebutuhan daging sapi pada hari-hari besar, seharusnya bisa diprediksi pemerintah. Dengan begitu, tidak terjadi kelangkaan dan lonjakan harga yang menggila saat hari itu tiba. Artinya, ketika produksi dirasakan cukup atau bahkan surplus, tidak mungkin ada kenaikan yang menggila. Dengan catatan, pemerintah pun harus menjaga stabilisasi harganya.
Hal serupa juga bisa dilakukan pemerintah pada komoditas beras, minyak goreng, telur, gula putih, dan barang kebutuhan pokok lainnya. "Memang harus ada batasan harga jual dari pemerintah, sehingga kenaikan harga tidak mencekik leher masyarakat dan hanya menguntungkan pelaku usaha yang bermain terhadap harga barang," tegasnya.
Dia juga mengatakan, harus ada koordinasi yang baik antarkementerian terkait, pelaku usaha serta pemerintah daerah guna menjaga stabilisasi harga, kelancaran pasokan, dan jumlah produksi di tiap daerah bagi setiap komoditas pangan.
Menurut Aris Yunanto, kekhawatiran akan makin tidak terurusnya perekonomian dan gejolak harga yang tidak terkendali sangat beralasan. Sebab, saat ini pemerintah lebih sibuk mengurus hal-hal yang tidak bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat.
Seharusnya, menurut dia, pemerintah tetap konsisten dengan perencanaan yang sudah ada. Karena, pemerintah memiliki rencana pembangunan yang sudah ditetapkan. Jika rencana itu ditinggalkan, kondisi ekonomi akan makin berat dan menyengsarakan masyarakat.
Menurut dia, pemerintah sebenarnya bisa mengatur masalah harga dan distribusinya. Sebab, memang kewenangan dan kekuatan untuk mengatur itu ada di tangan pemerintah. Namun, saat ini pemerintah sendiri seolah-olah terjebak dalam dualisme pemikiran, antara politik dan ekonomi.
"Seharusnya para menteri tetap konsisten pada tugas utama mereka dalam menjalankan kementerian dan mengatur ekonomi. Bukannya berpolitik dan justru meninggalkan tugas utama mereka. Biarkan politik diurus para politikus," katanya.
Dugaan Kartel
Sementara itu, terkait dengan lonjakan harga kebutuhan pokok. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menurunkan tim pengawas untuk meneliti dan menginvestigasi dugaan kartel di balik kenaikan harga tersebut.
"Di tengah penjelasan pemerintah yang menyatakan bahwa ketersediaan komoditas pokok mencukupi, maka wajar jika kami mencurigai ada tindakan kartel di balik kenaikan harga ini," kata Wakil Ketua KPPU, Saidah Sakwan, di Jakarta, Jumat (12/7).
Seperti diketahui, dia menyebutkan, kenaikan harga beberapa bahan pangan telah di atas lima persen dibanding harga pada Juni. Bahan pokok pangan itu adalah cabai rawit (naik 63 persen), bawang merah (49 persen), daging ayam ras (19,5 persen), dan telur ayam ras (9,32 persen), sementara daging sapi naik hingga 41 persen.
Di bagian lain, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Ngadiran mengatakan, fluktuasi harga daging sapi saat ini disebabkan ulah oknum importir atau pedagang besar, yang cenderung mengatur pemerintah.
"Harga daging tinggi itu yang menguasai importir. Importir yang mengatur para petinggi negeri. Kalau petinggi negeri diatur oleh importir atau tengkulak seperti itu, apa mau diikuti terus?" tutur dia di sela-sela acara peluncuran Buku Sepuluh Tahun Koperasi (1930-1940) Karya RM Margono Djojohadikusumo, di Jakarta, Jumat (12/7).
Dia menyatakan kalau pihaknya sempat kebingungan, lantaran harus menanggapi pertanyaan media massa yang menganggap pedagang pasar untung besar dengan kenaikan harga daging sapi. "Semua media bertanya kepada pedagang pasar tradisional tentang keuntungan yang besar, dengan kenaikan harga daging. Padahal, yang untung itu adalah pedagang besar," ujarnya menegaskan.
Untuk itu, dia menyarankan, sebagai solusi stabilisasi harga daging, seluruh pihak berkepentingan harus bersatu dengan petani. Ini dimaksudkan untuk memperpendek arus distribusi daging dan komoditas pangan lain. Dengan begitu, menurutnya, hasil pertanian bisa langsung sampai ke pasar tradisional.
Dari pantauan di pasar-pasar tradisional di sejumlah daerah, harga kebutuhan pokok memang masih tinggi. Seperti harga cabai rawit di sejumlah pasar tradisional di Kabupaten Jember, Jawa Timur, melambung tinggi hingga menembus angka Rp 100.000 per kg. Harga ini sama dengan harga sekilo-gram daging sapi.
"Harga cabai rawit terus merangkak naik. Mulai harga Rp 25.000 per kg, kemudian naik menjadi Rp 45.000 per kg, naik lagi menjadi Rp 80.000 per kg, dan kini mencapai Rp 100.000 per kg," kata Saiful, pedagang cabai di Pasar Tanjung, Jember, Jumat.
Kondisi yang tidak beda jauh juga terjadi di Sumenep, Jawa Timur. Harga cabai kecil di kabupaten itu mencapai Rp 100.000 per kg. Harga itu lebih tinggi dari harga sekilogram daging sapi di daerah itu yang hanya Rp 90.000.
"Harga cabai kecil memang naik drastis dari sebelumnya Rp 60.000 menjadi Rp 100.000 per kg," ujar Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sumenep, R Heni Yulianto, di Sumenep, Jumat.
Sementara itu, harga daging sapi sendiri di Palembang, Sumatera Selatan, tetap bertahan di angka Rp 100.000 per kg. "Sejak sebelum Ramadhan hingga kini, harga daging sapi masih bertahan Rp 100.000 per kg," kata Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Palembang, Yustianus, Jufriat.
Menurut dia, harga daging sapi yang mahal itu terjadi sejak beberapa bulan ini. Memasuki bulan Ramadhan harga masih bertahan tinggi, meski tidak terjadi kenaikan harga yang signifikan. Ditambahkannya, permintaan daging sapi sampai hari ketiga puasa cenderung stabil.
Post a Comment