![]() |
| Pelindo menandaskan aksi korporasinya agar pengguna pelabuhan nyaman dan efisien. |
PT Pelindo II dengan tegas menyatakan tidak ada monopoli di Pelabuhan Tanjung Priok. BUMN ini mengklaim pembentukan anak usahanya itu merupakan strategi bisnis untuk efisiensi, sehingga tidak akan mundur demi mempersingkat waktu pelayanan kapal dan bongkar muat barang. Reaksi sejumlah perusahaan jasa layanan pelabuhan baru-baru ini lebih karena kepentingan pribadi terganggu pembenahan pelayanan pelabuhan, bukan berbicara untuk kepentingan umum. Demikian diungkap Richard Joost Lino, Direktur Utama PT Pelindo II (Persero).
Lino, begitu sapaan akrabnya, menjelaskan, dengan mempercepat waktu tunggu pelayanan kapal dan bongkar muat barang (dwelling time), biaya akan lebih murah dan kapasitas pelabuhan meningkat. PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II dapat meningkatkan penanganan arus peti kemas di Tanjung Priok sebesar 9% tahun lalu, yakni dari 5,7 juta TEUs pada 2011 menjadi 6,2 juta TEUs. Dengan terus memodernisasi peralatan dan membenahi layanan, dwelling time ditargetkan lebih singkat dari saat ini 6-7 hari menjadi empat hari.
"Sebagai pengelola pelabuhan, kami tidak melakukan praktik monopoli. Kami hanya melanjutkan layanan jasa yang selama ini sudah kami tangani dan membenahi layanan yang tidak efisien," kata lino kepada Investor Daily di kantor pusat IPC, Jakarta, Selasa (11/6).
Lino menuturkan, tujuan membentuk anak usaha adalah untuk memperlancar bisnis yang ditangani Pelindo II, agar tidak terhambat birokrasi.
Sebagai BUMN, Pelindo II tidak bisa selincah perusahaan swasta menjalani bisnis. Keputusan bisnis yang semestinya harus diambil secara cepat tidak bisa dilakukan, karena di BUMN harus melalui prosedur birokrasi yang panjang, bahkan ada yang harus disetujui menteri BUMN terlebih dulu.
"Birokrasi yang panjang itu harus diputus. Jadi, kalau ada orang menuduh monopoli karena anak perusahaan yang beroperasi, itu agak lucu. Kalau misalkan monopoli, yang mana? Silakan dibawa ke KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha)," ujar dia.
Ia menegaskan, Pelindo II bertugas untuk melayani masyarakat sebaik-baiknya, sehingga keputusan bisnis yang cepat diperlukan. Adanya anak usaha juga memberikan keuntungan spesialisasi di masing-masing layanan, seperti anak usaha terminal peti kemas khusus melayani peti kemas, demikian pula yang melayani marine service.
"Kalau BUMN kan kakinya satu diikat sebelah, tapi kalau anak perusahaan nggak. Anak perusahaan itu 100% milik kami, dan mereka mengerjakan bisnis yang sudah kami kerjakan. Dengan adanya anak usaha tersebut, masalah birokrasi sebagai BUMN hanya sampai di IPC," papar Lino.
Menyinggung aksi pemogokan minggu lalu, lino menilai alasannya tidak tepat Misalnya Asosiasi Angkutan Khusus Pelabuhan (Angsuspel) yang mempermasalahkan PT Jasa Armada Indonesia yang bakal dibelikan 2.000 truk oleh Pelindo II, menurut lino, anak usahanya itu hanya melayani kapal pandu dan tunda marine, yang tidak ada kaitan dengan angkutan darat yang ditangani AngsuspeLlino juga tidak mengerti mengapa Indonesian National Shipowners Association (INSA) mempersoalkan jasa layanan Pelindo II yang sama sekali berbeda dengan bisnis anggota INSA.
"Saya nggak bikin perusahaan pelayaran, kenapa INSA mempersoalkan?" ujar lino.
Dirut IPC itu menegaskan, pihaknya tidak akan masuk ke bisnis yang sudah dijalankan swasta dengan baik. Namun, pihaknya siap membereskan bis-nis layanan jasa pelabuhan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.
"Itu memang tugas BUMN. Kami tidak bisa membiarkan swasta memanfaatkan aset kami, karena ini merupakan aset rakyat Indonesia. Kalau pun dituduh monopoli, ini punya rakyat Indonesia. Selain itu, persaingannya nanti kompetitif, tidak ain privilege," tutur lino.
Pada 2009, saat lino masuk Pelindo II, ia juga langsung membereskan permasalahan bongkar muat di Tanjung Priok. Saat itu, perusahaan bongkar muat (PBM) berjumlah seratusan, sehingga bekerja tidak sesuai skala ekonomi (economies of scale).
"Swasta yang bekerja di sana tidak mungkin berinvestasi, karena economies ofscale-nyz memang tidak ada. Hal itu sama artinya dengan membuat aset pelabuhan dan dermaga yang mahal hanya dipakai orang seenaknya," tandas dia.
Pada 2010, Pelindo II membereskan masalah PBM ini dengan mekanisme semacam lelang. Dari 32 yang memenuhi syarat administrasi, kemudian terpangkas menjadi 16 PBM yang memenuhi persyaratan teknis.
"Dengan 16 PBM itu, kami mengikat kontrak dan mereka didorong untuk berinvestasi. Kontrak mencapai 15-20 tahun, tergantung berapa banyak mereka berinvestasi," katanya.
Dia juga mengatakan, penertiban tersebut tidak mengundang protes dari pemilik barang dan shipping line. Mereka sebelumnya memprotes kondisi layanan jasa pelabuhan tersebut, karena dinilai tidak baik.
"Sekarang juga tidak protes. Artinya apa yang saya lakukan diakui sebagai hal yang benar," papar Lino. Dia juga ingin membereskan barang-barang less container load (LCL), yang disinyalir selama ini dilayani oleh forwarder company. Mereka melayani masyarakat dengan tarif yang sangat tinggi. Tarif itu sesuai kesepakatan yang dibuat forwarder company dengan asosiasi pemilik barang dan sudah disetujui oleh dirjen perhubungan laut kala itu.
"Tarif yang sangat tinggi itu memakai fasilitas kami. Itu tidak bisa dibiarkan. Nanti, masyarakat berpikir kami yang membebani ongkos itu," ucap dia.
Saat memakai aturan yang baru, lanjut Lino, ada penghematan uang masyarakat sekitar Rp 1 triliun. Tak Melalui Singapura.
Lino menambahkan, langkah-langkah untuk menjadikan Tanjung Priok sebagai pelabuhan utama yang efisien sudah mulai terlihat hasilnya. Ini antara lain membuat trafik peti kemas di Tanjung Priok meningkat. Jika pada 2009 hanya sekitar 3,8 juta TEUs, tumbuh menjadi 4,6 juta TEUs pada 2010, meningkat jadi 5,7 juta TEUs tahun 2011. dan mencapai 6,2 juta TEUs pada 2012.
"Hanya dalam kurun waktu tiga tahun, karni sudah mencapai pertumbuhan arus peti, kemas double. Padahal kami tidak membangun apa-apa, hanya mengefisienkan saja," tandasnya.
Selain itu, barang-barang dari Indonesia tak perlu lagi harus melakukan transit di pelabuhan Singapura, yang menimbulkan biaya tinggi. Pada 2008 transshipment masih sekitar 65%, namun pada 2011 Tanjung Priok menjadi pelabuhan tujuan langsung dengan persentase transshipment terkikis menjadi 18%.
"Pendapatan kami juga berlipat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2009 pendapatan kami baru Rp 3,54 triliun, namun pada 2012 sudah menjadi Rp 6,3 triliun," ucap lino.
Peringkat Logistics Performance Index (LPI) juga meningkat Jika pada 2010 Tanjung Priok menduduki peringkat ke-75, pada 2012 menjadi ke-59.
Dihubungi terpisah, pengamat maritim dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Saut Gur-ning mengungkapkan, upaya yang dilakukan PT Pelindo II untuk membenahi Pelabuhan Tanjung Priok sudah tepat Ini termasuk dengan mendirikan sejumlah anak usaha baru di bidang jasa kepelabuhan.
"Sebab, itu dilakukan Pelindo II di atas wilayahnya sendiri, demi tujuan terciptanya efisiensi yang pada akhirnya menurunkan harga barang di konsumen. Jika memang berada di kewenangannya, itu tidak masalah dan efisiensi ini yang diinginkan semua pihak," kata dia ketika dihubungi Investor Daily di Jakarta.
Sebelumnya, Lino menjelaskan, pihaknya juga sudah memulai pembangunan pelabuhan baru New Priok. Pada pembangunan tahap I, terminal New Priok akan terdiri atas tiga terminal peti kemas dan dua terminal produk bahan bakar. Total penambahan kapasitas peti kemas sebesar 4,5 juta TEUs. Targetnya, seluruh terminal tahap I beroperasi pada 2018. Sedangkan total biaya investasi sekitar Rp 22,66 triliun






Post a Comment