Menggapai Mimpi Kedaulatan Pangan - KOMPETISINEWS | INFO PERSAINGAN USAHA

.


Home » , , , , » Menggapai Mimpi Kedaulatan Pangan

Menggapai Mimpi Kedaulatan Pangan

Written By Redaktur on Tuesday, April 16, 2013 | 12:49 AM

Indonesia kini masih tergantung import kebutuhan pangannya.
Kestabilan harga pangan di negeri ini sepertinya masih sulit dicapai. Jika sebelumnya kenaikan harga pangan hanya terjadi menjelang hari-hari besar seperti Lebaran, Natal, dan Tahun Baru, sekarang kenaikan bisa terjadi sewaktu-waktu dan mendadak.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mensinyalir terjadi penguasaan distribusi pangan oleh pihak tertentu (oligopoli). Selain itu, Henry menilai pemerintah salah menerbitkan kebijakan karena mengekor arahan IMF. Akibatnya, subsidi di sektor pertanian ditekan seminim mungkin dan ekspor bahan mentah ke negara-negara maju ditingkatkan.

Disadari atau tidak, sektor pertanian dan pasar pangan Indonesia mengalami liberalisasi besar-besaran sejak menjadi pasien IMF 1998 silam. Atas arahan IMF Indonesia harus meliberalisasikan berbagai sektor, termasuk di antaranya pertanian-pangan.

Liberalisasi itu tidak hanya menyangkut pasar (impor), tapi termasuk kelembagaan dan pendanaan. Tengok saja pada 2003 sekitar 83 persen jenis produk yang masuk ke Indonesia dikenai tarif 0-10 persen, hanya 1 persen produk menerapkan tarif di atas 30 persen.

Ditambah lagi akibat liberalisasi lewat berbagai perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA), baik bilateral seperti FTA Indonesia-Jepang dan Indonesia-China, maupun regional seperti ASEAN-China FTA. ASEAN-Australia-Selandia Baru FTA dan ASEAN-India FTA, bea masuk beras dan gula hanya 30 persen dan susu 5 persen. Tak heran bila tarif bea masuk di Asia, rata-rata tarif Indonesia paling rendah hanya 4,3 persen jauh dibandingkan India rata-rata 35,2 persen, Vietnam 24,9 persen. Jepang 34,0 persen, Thailand 24,2 persen, dan China 17,4 persen.

Orientasi pasar dan absennya pemerintah sebagai stabilisator harga pangan membuat swasta leluasa mengambil alih kendali tata niaga, padahal swasta selalu berorientasi memaksimalkan untung. Jalur distribusi yang konsentris dan oligopolis itu pun terjadi pada dua sumber pasokan pangan yakni produksi domestik dan impor. Kondisi ini terjadi hampir pada semua komoditas yang volume dan nilai impornya sangat tinggi seperti gandum, gula, kedelai, beras, jagung, daging, dan tak terkecuali bawang (putih maupun merah). Bisa dibilang, bisnis impor ini sudah menjadi political rent-seeking yang "gurih" di mata pelakunya.

Seiring merosotnya kinerja produksi pangan domestik, produk pangan impor kian membanjiri domestik. Pada 2012 saja, nilai impor pangan mencapai Rp 63,9 triliun, hortikultura mencapai Rp 12,9 triliun dan peternakan mencapai Rp 15,4 triliun. Malahan, saat krisis pangan meledak pada 2008. defisit subsektor pangan hanya mencapai USS 3,178 miliar, tahun 2011 defisit naik dua kali lipat menjadi USS 6,439 miliar. Impor paling besar disumbang gandum, kedelai, beras, jagung, gula, susu, daging, dan bahkan sapi serta buah-buahan dan bawang putih. Saat ini, Indonesia sudah bergantung pada impor 100 persen untuk gandum, 78 persen untuk kedelai, susu 54 persen, gula 54 persen, daging sapi 18 persen, dan 95 persen bawang putih. Hingga saat ini, belum tampak tanda-tanda atas ketergantungan pangan impor ini menurun.

Kedaulatan Pangan

Untuk mengembalikan kedaulatan pangan, Henry Saragih menilai pemerintah dapat memulainya dengan menerapkan UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan secara konsisten. Dalam peraturan itu Henry melihat ada ketentuan yang mengatur kelembagaan pangan dan pembatasan impor. Selaras dengan itu, pemerintah dituntut serius menjalankan reforma agraria sehingga produksi pertanian dapat ditingkatkan.

"Petani Indonesia tidak punya lahan yang layak, sementara lahan yang ada dibagi-bagikan kepada perkebunan besar," katanya.

Beberapa kebijakan perdagangan dalam era globalisasi ternyata mengesampingkan kepentingan petani nasional. Padahal, sebagai salah satu sektor pembangun perekonomian nasional, hasil bercocoktanam petani juga menentukan keberhasilan program pemerintah dalam swasembada pangan.

Banyak kalangan mendesak pemerintah mengutamakan perlindungan petani kecil dalam melaksanakan ketentuan UU Pangan. Salah satu amanat UU Pangan adalah membentuk lembaga pangan baru yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Nantinya lembaga pangan baru itu akan dibentuk lewat peraturan presiden (Perpres). Hal itu mengingat ada beberapa lembaga pangan serupa seperti Bulog, Badan Ketahanan Pangan Pertanian (BKP), dan Dewan Ketahanan Pangan (DKP). Presiden harus mengevaluasi kinerja berbagai lembaga itu sehingga apa yang selama ini menjadi kelemahan dari bermacam lembaga itu dapat dibenahi untuk diterapkan di lembaga pangan baru. Dia berharap lembaga tersebut dapat mengintegrasikan lembaga pangan yang ada dalam mengurusi pangan, mulai dari pembentukan kebijakan sampai pengawasan.
Reforma Agraria harus segera direalisasikan.

Walau mengamanatkan untuk dibentuk lembaga pangan baru, UU Pangan tak menjelaskan siapa pihak yang bertanggung jawab dalam rangka pemenuhan hak panganuntuk rakyat. Akibatnya, ketika muncul kasus kelaparan, pihak yang disasar untuk dimintai tanggungjawabnya seolah tak jelas. Mestinya, UU Pangan menunjuk siapa yang bertanggung jawab atas hal itu, apakah presiden atau menteri di bidang tertentu. Dengan dibentuknya lembaga pangan yang baru, harapannya lembaga tersebut yang bertanggung jawab jika terjadi kelaparan atau masalah pangan lainnya.

Jika tak ada pihak yang bertanggung jawab atas kasus pangan itu, masalah yang kerap timbul saat ini ketika terjadi masalah yaitu lempar tanggungjawab antarkementerian akan terus terjadi. Ujungnya, petani yang bertindak sebagai produsen pangan kebingungan ketika mau menggugat pihak berwenang atas kebijakan pangan yang dinilai merugikan petani. Untuk menjawab persoalan itu, koalisi berharap lembaga pangan baru dapat melakukannya.

Anggota Koalisi dari Serikat Petani Indonesia (SPI), Agus Ruli Ardiansyah, mengatakan lembaga pangan baru itu secara hukum lebih kuat posisinya ketimbang lembaga pangan yang ada saat ini. Pasalnya, lembaga pangan baru itu diamanatkan langsung oleh UU Pangan. Oleh karena itu, ia berharap lembaga itu dapat membenahi karut-marut pengelolaan pangan, khususnya dalam melindungi produsen pangan yaitu petani kecil. Jika perlindungan terhadap petani itu tak dilakukan, Ruli khawatir kestabilan pangan di Indonesia akan terganggu. Apalagi, pemerintah saat ini cenderung mengutamakan untuk impor produk pangan ketimbang memproduksi sendiri. Walau ada kuota yang ditetapkan pemerintah yang ditujukan untuk membatasi sebuah produk impor, Ruli memandang hal itu tak mampu membendung produk impor.

Pasalnya, Ruli melihat perusahaan swasta dapat dengan mudah mengimpor komoditas pangan. Jika impor yang dilakukan pihak swasta itu tak diawasi maka spekulasi harga pangan berpotensi besar terjadi, sehingga spekulasi itu merugikan petani.

Untuk mewujudkan kedaulatan pangan yang sejalan dengan perlindungan terhadap petani, Ruli mengatakan pemerintah harus komitmen menjalankan pembaruan agraria. Dengan menyediakan atau memberikan lahan garapan, petani dapat memproduksi pangan secara berkelanjutan. Menurutnya, hal mendasar yang wajib dipenuhi untuk merealisasikan kedaulatan pangan adalah tanah, infrastruktur pertanian yang mumpuni, harga benih, dan lainnya.

Lemahnya fungsi lembaga pangan yang ada saat ini merugikan petani. Misalnya, bawang petani ketika panen dihargai rendah yaitu Rp 7.000/kilogram. Pada saat belum panen, harga bawang melambung sampai Rp 70.000/ kilogram. Ujungnya, kesejahteraan petani tak terjamin dan masyarakat dirugikan dengan mahalnya harga bawang.

Hal serupa terjadi pada komoditas pangan lain. Mengacu hal itu, ia menilai pemerintah cenderung mengutamakan kepentingan impor ketimbang melindungi petani. Padahal, kepentingan petani jumlahnya menyangkut lebih banyak orang ketimbang pengimpor. Walau dalam rangka melindungi petani dan rakyat pemerintah melakukan kebijakan penetapan harga pasar, praktiknya tak efektif karena masuknya produk pangan impor. Untuk membenahi masalah tersebut, semuanya berharap lembaga pangan baru dapat menyelesaikannya.

Impor Lebih Murah

Menurut Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Sutrisno Iwantono, kebijakan impor komoditi pangan tidak mendukung program swasembada pemerintah.

Pasalnya, penawaran harga bahan pangan impor jauh lebih murah ketimbang produk dalam negeri. Akibatnya, petani tidak menikmati untung dan enggan bercocok tanam karena tak mendapatkan perlindungan dari pemerintah.

Perlu disayangkan memang jika sikap pemerintah yang terkesan tunduk terhadap China. Ia menilai, perjanjian tersebut dibuat berdasarkan kepentingan China, sementara merugikan petani dalam negeri. Lagi pula, lanjut Sutrisno Iwantono yang juga mantan komisioner KPPU, World Trade Organization (WTO) masih memberikan peluang kepada setiap negara anggota untuk mengenakan bea masuk maksimal 40 persen untuk sektor pangan.

Sutrisno Iwantono
Selain itu, guna mendukung program swasembada pangan yang dicanangkan pemerintah, bea masuk dan tarif impor bahan pangan sebaiknya dikembalikan lagi ke petani. Caranya, memberikan pupuk yang baik, bibit yang berkualitas dan menerbitkan kebijakan yang melindungi petani dalam negeri. Kebijakan bea masuk nol persen ini dimafaatkan para importir untuk memonopoli pasar. Para importir bisa mengatur pasar karena mendapatkan impor bahan pangan dengan harga yang lebih rendah dan menyimpannya pada gudang-gudang yang tidak pernah didata pemerintah.

Guna menghindari munculnya kartel pangan di lapangan, selain menerapkan pengenaan bea masuk terhadap impor bahan pangan, pemerintah harus memperbanyak jumlah importir. Tujuannya membuat pasar tidak hanya dikuasai satu atau dua orang.

Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Ketua Bidang Pengkajian, Munrokim Misanam. menuturkan seharusnya produk hortikultura dikenakan bea masuk dan tarif. Pengenaan bea masuk dan tarif ini penting mengingat hortikultura masuk dalam kategori highly sensitive. Lagi-lagi, liberalisasi perdagangan menjadi penghalang dalam menyelamatkan produk dalam negeri

Ekonom INDEF Bustanul Arifin, menilai aturan CAFTA tak mutlak harus dilakukan pemerintah. Apalagi, jika produk impor tersebut bukanlah produk asli negara yang mengimpor. Aturan CAFTA sebenarnya tidak mutlak karena masih ada aturan nile of original country. Kalau produk itu bukan asli dari negara pengimpor, boleh dikenakan bea masuk.
Share this article :

Post a Comment

 
Copyright © 2011. KOMPETISINEWS | INFO PERSAINGAN USAHA - All Rights Reserved
Developed by kuntoprastowo | Template by Maskolis
Proudly powered by Blogger