Setelah dicurigai dan diserang kanan-kir, Menteri Gita menyerah. Tata niaga kedelai diubah dan keran impor kembali dibebaskan.
Rapat koordinasi di kantor Wakil Presiden dua pekan lalu itu memanas. Intonasi suara Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa saat menyampaikan pendapat atau pertanyaan pada Menteri Perdagangan Gita Wirjawan terdengar tinggi. "Bagaimana bisa ada importir swasta yang diberi jatah 210 ribu ton log yang diberi penugasan khusus justru dikasih kuota 20 ribu ton?" sumber Tempo mengulang pernyataan Hatta dalam rapat itu.
Hatta gusar karena, menurut sumber itu, arahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak awal sudah sangat jelas terkait dengan program stabilisasi harga kedelai. Perintah itu secara khusus ditegaskan melalui peraturan presiden yang diteken pada 8 Mei lalu. Isinya penugasan kepada BULOG sebaga agen pengaman harga dan penyaluran bahan baku tahu dan tempe tersebut. Hatta menilai perintah itu tak tercermin dalam kebijakan tata niaga yang dibuat Menteri Gita, yang mengubah mekanisme impor kedelai dari importir umum menjadi hanya untuk sejumlah importir terdaftar. "Itu yang bikin Hatta dan Wakil Presiden marah," sumber Tempo lainnya bercerita.
Rapat itu berlangsung di tengah protes dan ancaman pemogokan para produsen tahu dan tempe, yang mengaku keberatan terhadap meroketnya harga dan menipisnya suplai kedelai di pasar. Lantaran sudah mengira akan ada masalah pasokan, Direktur Utama Perum BULOG Sutarto Alimoeso sudah mengajukan izin untuk mengimpor 500 ribu ton sejak Maret 2013. "Separuhnya dimaksudkan sebagai kedelai cadangan pemerintah. Selebhnya untuk komersial," ujar Sutarto, Rabu (18/9). "Tapi kalau ditunggu-tunggu, izinnya dari Kementerian Perdagangan tak kunjung keluar."
Dalam hitungan BULOG, sistem penyangga dan pengaman harga hanya akan efektif jika mereka bisa menguasai sedikitnya 10 persen dari total pasar. Dengan kebutuhan tahunan rata-rata 2,5 juta ton kedelai, kata Sutarto, "Bulog baru akan bisa berpengaruh kalau punya stok 250 ribu ton. Kalau terlalu sedikit, pasar akan tetap dikendalikan segelintir pemain." Izin buat BULOG akhirnya memang keluar, tapi kelewat sedikit dan sudah terlambat untuk mengatasinya.
![]() |
| Menko Perekonomian Hatta Radjasa |
Dengan alasan berbeda, Menteri Keuangan M. Chatib Basri pun khawatir terhadap sistem kuota dan pembatasan impor yang diberlakukan Menteri Gita. Kenaikan harga kedelai yang tak terkendali dikhawatirkan menambah inflasi dan memperberat beban ekonomi yang sedang tertekan oleh anjloknya nilai tukar rupiah dan pelarian modal asing. Itu sebabnya, Chatib cenderung meminta agar keran impor dibuka lebih lebar.
Kecuali Gita, para pejabat lain dalam rapat itu punya kesimpulan: kenaikan harga kedelai di pasar domestik lebih direfleksikan ketidakpastian suplai ketimbang efek nilai tukar. Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo pun ikut bersuara. "Turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar tahun ini hanya 11 persen, tapi mengapa harga kedelai naik lebih dari 40 persen? Itu pasti ulah spekulan."
Pembagian jatah yang tidak jelas dan dianggap terlalu lambat itu bahkan memicu kecurigaan yang lebih luas. Apalagi sistem kuota yang diberlakukan dalam komoditas lain, seperti daging sapi dan produk hortikultura di Kementerian Pertanian sudah terbukti rawan korupsi dan membuat peluang kolutif antara pelaku dan regulator. Kasus korupsi daging sapi bahkan sedang disidik Komisi Pemberantasan Korupsi dan sebagian lagi sudah masuk ke meja hijauh.
Dikritik kanan-kiri, Gita semua berkukuh tak mau menerima tudingan bahwa model penjatahan impor yang dibuatnya menjadi biang kelangkaan dan melonjaknya harga kedelai. "Saya belum ada bukti soal itu. Msalah itu lebih disebabkan oleh pelemahan nilai tukar rupiah dan anomali cuaca, termasuk di sentra produksinya di Amerika," ujar Gita. "Harga kedelai tidak akan lagi semurah tahun-tahun sebelumnya akibat dua hal itu.
Meski demikian, ia tak menolah ketika rapat kabinet paripurna pada Rabu pekan lalu akhirnya memutuskan mengembalikan pola lama pengadaan kedelai melalui importir umum."Akan saya teken keputusan menterinya soal itu," ucap Gita. "Sekarang bebas. Bulog mau impor 20-30 juta ton juga boleh. Tak ada lagi keharusan importir membeli produk lokal. Bea masuk 5 persen juga sudah dihapus."
Hatta Rajasa meyakinkan kebijakan membuka lebar pintu impor itu tak akan memukul petani dan produsen kedelai lokal. Penghapusan bea impor pun bukan masalah, karena sejak awal aturan itu tidak dirancang untuk menambah pendapatan negara. "Bea masuk itu instrumen kendali, bukan pendapatan," katanya. "Itu hanya sepanjang harga masih tinggi. Jika harga sudah normal, nanti kembali diterapkan. Kalau tidak, kasihan petani."
Gita memang balik badan, tapi ia tetap berpendapat, dalam jangka panjang, sistem kuota masih merupakan pilihan terbaik jika pemerintah hendak melindungi petani dan memperkuat ketahanan pangan lewat produk lokal. Hanya dengan sistem itu pula pemerintah punya instrumen untuk mengendalikan pasar. "Jadi sistem ini (importir umum), adalah policy reponse sementara.







Post a Comment