Mengkritisi Kebijakan Pangan Nasional - KOMPETISINEWS | INFO PERSAINGAN USAHA

.


Home » , , , » Mengkritisi Kebijakan Pangan Nasional

Mengkritisi Kebijakan Pangan Nasional

Written By Redaktur on Monday, July 22, 2013 | 12:12 AM

Kebijakan pangan nasional dinilai belum jelas.
Pemerintah harus memiliki konsep permanen untuk meredam gejolak harga yang selalu hilang-timbul. Pemerintah juga perlu konsisten dalam menjalankan dan menyiapkan cadangan pangan nasional Kalau tidak, harga pangan tidak stabil, sehingga mengancam melejitkan inflasi hingga di atas 8 persen.

Demikian diutarakan anggota Komisi VIII DPR Adang Ruchiatna Puradiredja, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim, serta komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf, secara terpisah, di Jakarta, Jumat (19/7).

Adang menyampaikan, pemerintah harus konsisten dalam menjalankan cadangan pangan nasional. Ini guna mencukupi penyediaan pangan di seluruh wilayah, baik untuk konsumsi, bahan baku industri, maupun untuk menghadapi keadaan darurat.

"Kebijakan cadangan pangan saat ini tidak berjalan baik, hanya janji-janji," kata Adang. Menurut dia, indikasi ketidakkonsistenan pemerintah dalam menjalankan kebijakan cadangan pangan nasional ini tercermin dengan dibelinya swasta peran dalam pengelolaan stok.

Menurut Adang, itu sebenarnya bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat maupun daerah untuk menjaga stabilitas harga pangan agar tetap terjangkau. Dia mencontohkan, hampir setiap Ramadhan, harga bahan pokok pangan selalu melonjak.

Adang berpendapat, itu menunjukkan pemerintah gagal melakukan antisipasi dalam mencegah harga bahan pokok pangan tidak naik secara liar.

Sementara itu, Abdul Halim mengemukakan, pemerintah harus memprioritaskan konsumsi pangan dalam negeri. Saat ini, sejumlah komoditas perikanan lebih didahulukan untuk konsumsi warga luar negeri dibanding untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Indonesia sebagai negara produsen tuna ternyata banyak memenuhi permintaan atas komoditas tersebut dari banyak negara. Permintaan terbesar dari Jepang sebanyak 36,84 persen, disusul Amerika Serikat 20,45 persen, dan Uni Eropa 12,69 persen.

"Dengan produksi tuna yang pada 2011 saja mencapai 230.580 ton, lebih dari 60 persen produksi tuna dikapalkan ke luar negeri," ucap Halim.

Di lain pihak, Syarkawi Rauf menyebutkan, kenaikan bahan pokok pangan membuat inflasi diperkirakan mencapai 7,2 persen, sementara Bank Dunia memperkirakan laju inflasi hingga akhir tahun bisa melebihi 8 persen.

Bank Dunia juga memprediksi pertumbuhan ekonomi nasional mengalami penurunan menjadi hanya 6,2 persen. Tetapi, pemerintah sendiri menargetkan pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini 6,3 persen. Rauf juga mengkritisi persediaan daging sapi dan masalah impor.

"Dari stok sebanyak 14,8 juta ekor sapi, hanya tersisa 12 juta tahun ini. Ini dikarenakan populasi sapi tidak mengalami penambahan," katanya.

Stabilisasi harga bahan pokok pangan yang dilakukan pemerintah dengan melakukan operasi pasar (OP) dinilai sejumlah kalangan bukan jalan keluar. Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama, misalnya, menilai OP tak efektif dalam menekan kenaikan harga. Sebab, OP cuma berlangsung satu-dua hari. Di sisi lain, sedikit sekali konsumen yang memanfaatkan OP, sehingga pedagang juga yang menyerap komoditas yang dijajakan itu.

Karena itu, Pemprov DKI Jakarta akan memasok bahan pokok pangan berharga murah ke sejumlah pasar tradisional milik PD Pasar Jaya. "Pedagang yang menjual kembali barang dengan harga mahal akan kita usir. Kita bisa melakukan itu, karena Pasar Jaya kan punya kita," kata Basuki.

Pasar Jaya diyakini Basuki mampu berperan mengontrol stok dan harga barang, termasuk daging sapi.

"Kita tidak mau pedagang yang berjualan di Pasar Jaya menjual harga bahan pokok dengan harga gila-gilaan," ujarnya.

Penilaian senada juga disampaikan Sekjen Asosiasi Hortikultura Nasional (AHN) Ramdansyah. Menurut dia, impor sebagai strategi stabilisasi harus bersifat jangka pendek. Strategi tersebut harus dilanjutkan dengan sinergi antarkementerian guna mencapai ketahanan pangan dalam jangka panjang.

Sementara itu, Sekjen Asosiasi Pedagang Seluruh Indonesia (APSI) Ngadiran menuding gejolak harga kebutuhan pokok sekarang ini adalah permainan oknum pengusaha. Dia memberi contoh, harga daging sapi dan bawang putih bergejolak karena importir besar merekayasa pasar.

Ngadiran juga menyebutkan, pedagang daging menolak operasi pasar yang dilakukan Perum Bulog karena mereka sadar bahwa itu merusak harga yang sudah terbentuk sehingga mereka bisa merugi.

"Daging (OP) titipan Bulog bisa merusak harga. Padagang kan sudah beli daging yang lebih mahal. Gara-gara OP, daging itu malah bisa tidak laku (karena lebih mahal dibanding daging OP)," katanya.

Bulog sendiri hanya memberikan keuntungan kotor Rp 7.000 per kg atas daging OP titipan yang terjual. Padadal, daging beku berisiko menyusut kalau didiamkan lama. Ini membuat keuntungan riil yang dinikmati pedagang tidak sampai Rp 7.000.

Sementara itu, harga sejumlah komoditas pangan belum juga beranjak turun. Harga beras, telur ayam, dan gula pasir hingga pekan ketiga Juli ini relatif stabil tinggi.

Data Dinas Indagkoptan Kota Yogyakarta menyebutkan, di tiga pasar Kotagede, Serangan, dan Prawirotaman harga beras jenis IR I dan IR II dijual Rp 8.000 hingga Rp 8.200 per kg. Gula pasir Rp 11.300 per kg, minyak goreng curah Rp 9.600 per liter, dan minyak goreng kemasan Rp 12.000 hingga Rp 13.000 per liter, sedangkan harga telur ayam ras stabil di kisaran Rp 19.000 hingga Rp 19.600 per kg, telur ayam kampung Rp 1.500 per butir. Sementara tepung terigu Cakra Kembar dijual Rp 6.600 dan Segitiga Biru Rp 7.000 hingga Rp 7.300 per kg.

Komoditas yang juga tetap mahal adalah daging sapi, yakni Rp 90.000 hingga Rp 100.000 per kg, sementara daging ayam broiler Rp 30.000 per kg.

Harga cabai rawit merah Rp 60.000 hingga Rp 65.000 per kg, bawang merah Rp 40.000 hingga Rp 42.000 per kg, dan bawang putih Rp 20.000 hingga Rp 26.000 per kg-

Di Pasar Tangga Arung, Kutai Kartanegara, Kaltim, harga cabai mencapai Rp 100.000 per kg. Padahal, sepekan lalu baru Rp 60.000 per kg. Harga cabai merah biasa dan keriting berkisar Rp 60.000 atau naik Rp 5.000 per kg.

"Selain karena kebutuhan meningkat, kenaikan harga ini juga disebabkan waktu panen yang tertunda akibat cuaca buruk di Jawa dan Sulawesi," ujar Kepala Dinas Indagkop Kutai Kartanegara Bustard.

Sementara harga daging sapi masih bertahan di kisaran Rp 110.000 per kg, daging ayam broiler Rp 38.000 per kg, dan ayam kampung Rp 80.000 per kg.

Di Pangkalpinang, harga bawang merah di tingjat pengecer mencapai Rp 60.000 per kg, cabai merah keriting Rp 40.000 hingga Rp 80.000 per kg, kedelai Rp 8.500 hingga Rp 9.000 per kg, dan jagung Rp 6.000 hingga Rp 8.000 per kg.

Di pasar tradisional Kota Palembang, sejak beberapa hari terakhir, harga bawang merah tercatat Rp 48.000 per kg atau naik dari harga semula Rp 30.000 per kg.
Share this article :

Post a Comment

 
Copyright © 2011. KOMPETISINEWS | INFO PERSAINGAN USAHA - All Rights Reserved
Developed by kuntoprastowo | Template by Maskolis
Proudly powered by Blogger