![]() |
| Penggantian sistem kuota menjadi sistem tarif dan pengelolaannya harus transparan. |
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sejak awal tahun 2013 ini sudah mulai menyelidiki dugaan adanya kartel dalam impor daging sapi. Hal ini ditandai dengan membumbung tingginya harga komoditas itu hingga menembus harga Rp.100 ribu per kilogramnya. Padahal, kenaikan harga daging sapi sebelumnya terjadi pada saat mendekati bulan Ramadhan dan hari raya agama.
KPPU bahkan menemukan adanya penimbunan daging sapi impor di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya beberapa waktu lalu, sehingga semakin menguatkan dugaan adanya kartel dalam bisnis impor daging sapi.
KPPU hingga Mei lalu, sudah memanggi pengimpor, rumah potong hewan (RPH), dan juga Menteri Pertanian dan Pejabat di Kementerian Perdagangan untuk dimintai keterangan seputar indikasi kartel daging sapi impor.
Tak hanya daging sapi, rupanya bawang putih juga terindikasi di bawah permainan kartel. Harga bawang putih (juga merah) yang melambung tinggi ditengarai sebagai akibat dari ulah kartel.
Kebijakan pemerintah di sektor impor ditengarai menjadi salah satu pemicu dan suburnya praktik persaingan tidak sehat itu. Untuk mengupas lebih jauh tentang persoalan kartel daging sapi impor dan juga produk hortikultura, majalah ini beberapa waktu lalu mewawancarai pengamat hukum persaingan dari Universitas Al Azhar Indonesia, Dr. Suparji. Berikut petikannya.
Sejak awal tahun 2013 ini, kenaikan harga pangan
yang terkait dengan kegiatan impor yaitu bawang putih (juga merah) dan daging
sapi membumbung tinggi. Kondisi demikian
diindikasikan akibat kebijakan sistem kuota yang memberikan peluang tumbuhnya
kartel. Menurut pandangan Bapak, apakah dugaan adanya kartel impor produk
pangan dan hortikultura beberapa waktu terakhir karena kebijakan sistem kuota
impor? Ataukah ada penyebab lainnya?
![]() |
| Dr. Suparji, SH, MH, Pengamat Hukum Persaingan dari Universitas Al Azhar Indonesia. |
Kartel impor produk
pangan dan hortikultura beberapa waktu terakhir sangat dipengaruhi kebijakan
sistem kuota impor.
Permainan kartel pada
pengelolaan daging sapi impor akan kembali menggagalkan swasembada daging di
2014. Hal ini berkaitan pula dengan adanya penumpukan daging sapi di Australia
yang siap masuk ke Indonesia.
Derasnya aliran impor
daging sapi ke Indonesia tidak terlepas dari besarnya jumlah sapi potong dengan
bobot di atas 3,5 kwintal di Australia. Karena tingginya permintaan dari
importir Indonesia, jelas dia, peternak di Australia memotong sapi untuk di
ekspor.
Sejauh ini Indonesia
masuk ke dalam target ekspor Australia dengan kuota terbesar. Sementara, kuota
impor kita di sini dimainkan oleh importir.
Gagalnya swasembada
daging juga diakibatkan oleh tidak berjalannya program penundaan pemotongan
sapi produktif. Sapi-sapi produktif tidak boleh dipotong. Sebagai penggantinya,
setiap ekor sapi pemerintah memberikan stimulan dana kepada pemilik sebesar
Rp800.000. Ini merupakan salah satu program untuk mencapai swasembada.
Tingginya jumlah impor
yang juga dipermainkan oleh importir, pada akhirnya memaksa para peternak untuk
memotong sapi produktif. Sekarang ini, ada bisnis sapi yang menggiurkan. Harga
daging sapi sedang mahal. Peternak memilih untuk memotong sapi produktif agar
mendaptkan keuntungan lebih.
Sepanjang 2013
pemerintah telah menetapkan kuota impor daging sapi sebanyak 8.000 ton. Sebesar
40 persen merupakan kuota untuk daging beku dan selebihnya berupa sapi hidup.
Menurut pendapat Bapak,
bagaimana seharusnya sistem impor produk pangan di Indonesia?
Pemerintah sebaiknya segera
mengubah sistem impor produk pangan dari sistem kuota ke sistem tarif agar
menjadi lebih transparan dan menguntungkan rakyat. Selama ini, sistem kuota
pada impor produk pangan hanya dilakukan oleh beberapa perusahaan yang ditunjuk
pemerintah sehingga sarat terjadi praktik kartel.
Produk pangan, yang
oleh perusahaan importir yang melakukan praktik kartel, berdampak merugikan
rakyat dan negara karena harga produk menjadi sangat tinggi. Sebagai contoh,
bawang merah impor dengan harga 9.000 rupiah per kilogram tapi harga ecerannya
mencapai dua kali lipat.
Pada sistem kuota hanya
perusahaan yang ditunjuk pemerintah yang bisa melakukan impor produk pangan.
Tingginya harga produk pangan impor di tingkat eceran, kata dia, bisa jadi
karena ada dana kompromi antara perusahaan importir dan oknum terkait.
Sedangkan pada sistem tarif, semua perusahaan yang memenuhi persyaratan bisa
mengimpor produk pangan secara lebih transparan.
Untuk mengubah sistem impor
dari sistem kuota menjadi sistem tarif diperlukan aturan operasional yakni
peraturan pemerintah (PP) dan peraturan menteri (permen).
Pada sisi lain, tata
niaga hasil peternakan dan pertanian sangat buruk sehingga berdampak pada
fluktuasi harga komoditas tersebut. Oleh karena itu, perlu ada perbaikan tata
niaga. Yang perlu menjadi prioritas itu adalah mengurangi biaya tinggi akibat
distribusi yang tidak efisien, sehingga menjadikan harga daging sapi menjadi
mahal.
KPPU, untuk dugaan
kartel daging sapi, juga memeriksa Rumah Potong Hewan (RPH), di mana ada dugaan
mereka sengaja tidak memotong sapi hidup sesuai kapasitas normal karena ada
dugaan permainan dengan eksportir hewan hidup dari Australia. Menurut pandangan
Bapak, apakah tindakan tersebut juga dapat dikatagorikan sebagai kartel?
KPPU sejak awal menduga
ada kartel pada impor dan distribusi daging sapi karena harga sempat melambung
hampir menembus Rp 100 ribu per kilogram beberapa waktu lalu.
Jika importir terbukti
melakukan kartel, bisa dijerat dengan pasal persekongkolan dan Pasal 19
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
KPPU perlu menyelidiki
apakah ada kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya kartel daging sapi.
Termasuk adanya diskriminasi penunjukan importir.
Pemerintah juga
memiliki andil sebagai penyebab kelangkaan pasokan daging akibat neraca yang
tidak tepat. Neraca kebutuhan dan ketersediaan daging sapi yang dibuat
pemerintah, yaitu Kementerian Pertanian, tidak efektif karena ternyata populasi
sapi hasil penghitungan pemerintah banyak yang belum layak potong.
Ada dugaan yang kuat bahwa
importir melarang rumah potong hewan (RPH) memotong sapi. Inilah yang
menyebabkan kelangkaan daging sapi di dalam negeri akibat ketiadaan pasokan,
sementara kuota impor dikurangi.
Jika KPPU, dapat
membuktikan bahwa mereka sengaja tidak memotong sapi hidup sesuai kapasitas
normal karena ada dugaan permainan dengan eksportir hewan hidup dari Australia,
maka ini dapat dikatagorikan sebagai kartel.
Bagaimana seharusnya kebijakan pemerintah untuk tata niaga hewan hidup
(impor) hewan hidup dari negara lain agar dapat meminimalisir adanya tindakan
main mata dengan dengan pengimpor di Indonesia?
Tata niaga menjadi alat proteksi yang sering digunakan
pemerintah saat ini. Mulai tata niaga ekspor produk tambang sampai impor daging
sapi, bawang putih, dan bawang merah.
Semua tata niaga
tersebut melibatkan surat persetujuan dan surat rekomendasi yang dapat diurus
secara langsung (bukan online system) oleh eksportir atau importir. Dalam
beberapa kasus, surat rekomendasi tidak hanya pada satu level birokrasi,
melainkan beberapa level, seperti pada kasus impor daging sapi. Untuk dapat
mengimpor daging sapi, importir harus mendapatkan surat persetujuan dari
Kementerian Perdagangan dan rekomendasi persetujuan pemasukan (RPP) dari
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan atas rekomendasi dari Dinas
Pertanian Provinsi.
Kuota dan tata niaga
impor memang sering digunakan untuk melindungi produsen domestik, dalam kasus
impor daging sapi dan bawang ada lah peternak sapi dan petani bawang. Namun, di
sisi lain, pembeli, baik rumah tangga maupun katering, rumah makan dan
restoran, terabaikan. Tata niaga tersebut telah mengakibatkan langkanya barang
dan kenaikan harga.
Selain peningkatan
harga-harga, tata niaga akan menarik pemburu rente. Kerja sama dengan pihak
pembuat kebijakan untuk mendapatkan hak impor atau pemalsuan dokumen akan
sangat mungkin terjadi.
Kisruh impor tiga produk
pertanian itu hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah bahwa
kebijakan yang tidak transparan, birokratis, terlebih lagi tidak didukung data
yang akurat berakibat fatal bagi perekonomian secara keseluruhan.
Iktikad baik pemerintah
untuk merevisi kebijakan importasi patut dihargai, namun perlu terus dikawal
supaya pemerintah membuat kebijakan yang transparan dan terukur.
Salah satu alternatif
yang dapat dilakukan untuk membuat kebijakan importasi ini lebih transparan
adalah dengan mengganti kebijakan kuota dan lisensi impor dengan kebijakan
tarif yang berdampak sama terhadap pembatasan impor yang ingin dilakukan
pemerintah.
Dengan sistem ini, harga
pangan bisa lebih transparan dan pasar menjadi lebih kompetitif. Bilamana pada
suatu masa suplai domestik terganggu karena faktor cuaca dan lainnya, tarif
impor dapat diturunkan secara otomatis dengan berpatokan pada warning harga
untuk menentukan kapan tarif impor diturunkan.







Post a Comment