Dr. Suparji : Ganti Sistem Impor dan Kelola Lebih Transparan - KOMPETISINEWS | INFO PERSAINGAN USAHA

.


Home » » Dr. Suparji : Ganti Sistem Impor dan Kelola Lebih Transparan

Dr. Suparji : Ganti Sistem Impor dan Kelola Lebih Transparan

Written By Redaktur on Tuesday, June 4, 2013 | 3:16 AM

Penggantian sistem kuota menjadi sistem tarif dan pengelolaannya harus transparan. 
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sejak awal tahun 2013 ini sudah mulai menyelidiki dugaan adanya kartel dalam impor daging sapi. Hal ini ditandai dengan membumbung tingginya harga komoditas itu hingga menembus harga Rp.100 ribu per kilogramnya. Padahal, kenaikan harga daging sapi sebelumnya terjadi pada saat mendekati bulan Ramadhan dan hari raya agama.

KPPU bahkan menemukan adanya penimbunan daging sapi impor di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya beberapa waktu lalu, sehingga semakin menguatkan dugaan adanya kartel dalam bisnis impor daging sapi. 

KPPU hingga Mei lalu, sudah memanggi pengimpor, rumah potong hewan (RPH), dan juga Menteri Pertanian dan Pejabat di Kementerian Perdagangan untuk dimintai keterangan seputar indikasi kartel daging sapi impor. 

Tak hanya daging sapi, rupanya bawang putih juga terindikasi di bawah permainan kartel. Harga bawang putih (juga merah) yang melambung tinggi ditengarai sebagai akibat dari ulah kartel. 

Kebijakan pemerintah di sektor impor ditengarai menjadi salah satu pemicu dan suburnya praktik persaingan tidak sehat itu. Untuk mengupas lebih jauh tentang persoalan kartel daging sapi impor dan juga produk hortikultura, majalah ini beberapa waktu lalu mewawancarai pengamat hukum persaingan dari Universitas Al Azhar Indonesia, Dr. Suparji. Berikut petikannya. 

Sejak awal tahun 2013 ini, kenaikan harga pangan yang terkait dengan kegiatan impor yaitu bawang putih (juga merah) dan daging sapi membumbung tinggi. Kondisi  demikian diindikasikan akibat kebijakan sistem kuota yang memberikan peluang tumbuhnya kartel. Menurut pandangan Bapak, apakah dugaan adanya kartel impor produk pangan dan hortikultura beberapa waktu terakhir karena kebijakan sistem kuota impor? Ataukah ada penyebab lainnya?
Dr. Suparji, SH, MH, Pengamat Hukum Persaingan dari Universitas Al Azhar Indonesia. 
Kartel impor produk pangan dan hortikultura beberapa waktu terakhir sangat dipengaruhi kebijakan sistem kuota impor.

Permainan kartel pada pengelolaan daging sapi impor akan kembali menggagalkan swasembada daging di 2014. Hal ini berkaitan pula dengan adanya penumpukan daging sapi di Australia yang siap masuk ke Indonesia.

Derasnya aliran impor daging sapi ke Indonesia tidak terlepas dari besarnya jumlah sapi potong dengan bobot di atas 3,5 kwintal di Australia. Karena tingginya permintaan dari importir Indonesia, jelas dia, peternak di Australia memotong sapi untuk di ekspor.

Sejauh ini Indonesia masuk ke dalam target ekspor Australia dengan kuota terbesar. Sementara, kuota impor kita di sini dimainkan oleh importir.

Gagalnya swasembada daging juga diakibatkan oleh tidak berjalannya program penundaan pemotongan sapi produktif. Sapi-sapi produktif tidak boleh dipotong. Sebagai penggantinya, setiap ekor sapi pemerintah memberikan stimulan dana kepada pemilik sebesar Rp800.000. Ini merupakan salah satu program untuk mencapai swasembada.

Tingginya jumlah impor yang juga dipermainkan oleh importir, pada akhirnya memaksa para peternak untuk memotong sapi produktif. Sekarang ini, ada bisnis sapi yang menggiurkan. Harga daging sapi sedang mahal. Peternak memilih untuk memotong sapi produktif agar mendaptkan keuntungan lebih.

Sepanjang 2013 pemerintah telah menetapkan kuota impor daging sapi sebanyak 8.000 ton. Sebesar 40 persen merupakan kuota untuk daging beku dan selebihnya berupa sapi hidup.

Menurut pendapat Bapak, bagaimana seharusnya sistem impor produk pangan di Indonesia?
Pemerintah sebaiknya segera mengubah sistem impor produk pangan dari sistem kuota ke sistem tarif agar menjadi lebih transparan dan menguntungkan rakyat. Selama ini, sistem kuota pada impor produk pangan hanya dilakukan oleh beberapa perusahaan yang ditunjuk pemerintah sehingga sarat terjadi praktik kartel.

Produk pangan, yang oleh perusahaan importir yang melakukan praktik kartel, berdampak merugikan rakyat dan negara karena harga produk menjadi sangat tinggi. Sebagai contoh, bawang merah impor dengan harga 9.000 rupiah per kilogram tapi harga ecerannya mencapai dua kali lipat.

Pada sistem kuota hanya perusahaan yang ditunjuk pemerintah yang bisa melakukan impor produk pangan. Tingginya harga produk pangan impor di tingkat eceran, kata dia, bisa jadi karena ada dana kompromi antara perusahaan importir dan oknum terkait. Sedangkan pada sistem tarif, semua perusahaan yang memenuhi persyaratan bisa mengimpor produk pangan secara lebih transparan.

Untuk mengubah sistem impor dari sistem kuota menjadi sistem tarif diperlukan aturan operasional yakni peraturan pemerintah (PP) dan peraturan menteri (permen).

Pada sisi lain, tata niaga hasil peternakan dan pertanian sangat buruk sehingga berdampak pada fluktuasi harga komoditas tersebut. Oleh karena itu, perlu ada perbaikan tata niaga. Yang perlu menjadi prioritas itu adalah mengurangi biaya tinggi akibat distribusi yang tidak efisien, sehingga menjadikan harga daging sapi menjadi mahal.

KPPU, untuk dugaan kartel daging sapi, juga memeriksa Rumah Potong Hewan (RPH), di mana ada dugaan mereka sengaja tidak memotong sapi hidup sesuai kapasitas normal karena ada dugaan permainan dengan eksportir hewan hidup dari Australia. Menurut pandangan Bapak, apakah tindakan tersebut juga dapat dikatagorikan sebagai kartel?

KPPU sejak awal menduga ada kartel pada impor dan distribusi daging sapi karena harga sempat melambung hampir menembus Rp 100 ribu per kilogram beberapa waktu lalu.

Jika importir terbukti melakukan kartel, bisa dijerat dengan pasal persekongkolan dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

KPPU perlu menyelidiki apakah ada kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya kartel daging sapi. Termasuk adanya diskriminasi penunjukan importir.

Pemerintah juga memiliki andil sebagai penyebab kelangkaan pasokan daging akibat neraca yang tidak tepat. Neraca kebutuhan dan ketersediaan daging sapi yang dibuat pemerintah, yaitu Kementerian Pertanian, tidak efektif karena ternyata populasi sapi hasil penghitungan pemerintah banyak yang belum layak potong.

Ada dugaan yang kuat bahwa importir melarang rumah potong hewan (RPH) memotong sapi. Inilah yang menyebabkan kelangkaan daging sapi di dalam negeri akibat ketiadaan pasokan, sementara kuota impor dikurangi.

Jika KPPU, dapat membuktikan bahwa mereka sengaja tidak memotong sapi hidup sesuai kapasitas normal karena ada dugaan permainan dengan eksportir hewan hidup dari Australia, maka ini dapat dikatagorikan sebagai kartel.

Bagaimana seharusnya kebijakan pemerintah untuk tata niaga hewan hidup (impor) hewan hidup dari negara lain agar dapat meminimalisir adanya tindakan main mata dengan dengan pengimpor di Indonesia?
Tata niaga menjadi alat proteksi yang sering digunakan pemerintah saat ini. Mulai tata niaga ekspor produk tambang sampai impor daging sapi, bawang putih, dan bawang merah.

Semua tata niaga tersebut melibatkan surat persetujuan dan surat rekomendasi yang dapat diurus secara langsung (bukan online system) oleh eksportir atau importir. Dalam beberapa kasus, surat rekomendasi tidak hanya pada satu level birokrasi, melainkan beberapa level, seperti pada kasus impor daging sapi. Untuk dapat mengimpor daging sapi, importir harus mendapatkan surat persetujuan dari Kementerian Perdagangan dan rekomendasi persetujuan pemasukan (RPP) dari Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan atas rekomendasi dari Dinas Pertanian Provinsi.

Kuota dan tata niaga impor memang sering digunakan untuk melindungi produsen domestik, dalam kasus impor daging sapi dan bawang ada lah peternak sapi dan petani bawang. Namun, di sisi lain, pembeli, baik rumah tangga maupun katering, rumah makan dan restoran, terabaikan. Tata niaga tersebut telah mengakibatkan langkanya barang dan kenaikan harga.

Selain peningkatan harga-harga, tata niaga akan menarik pemburu rente. Kerja sama dengan pihak pembuat kebijakan untuk mendapatkan hak impor atau pemalsuan dokumen akan sangat mungkin terjadi.

Kisruh impor tiga produk pertanian itu hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah bahwa kebijakan yang tidak transparan, birokratis, terlebih lagi tidak didukung data yang akurat berakibat fatal bagi perekonomian secara keseluruhan.

Iktikad baik pemerintah untuk merevisi kebijakan importasi patut dihargai, namun perlu terus dikawal supaya pemerintah membuat kebijakan yang transparan dan terukur.

Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk membuat kebijakan importasi ini lebih transparan adalah dengan mengganti kebijakan kuota dan lisensi impor dengan kebijakan tarif yang berdampak sama terhadap pembatasan impor yang ingin dilakukan pemerintah.


Dengan sistem ini, harga pangan bisa lebih transparan dan pasar menjadi lebih kompetitif. Bilamana pada suatu masa suplai domestik terganggu karena faktor cuaca dan lainnya, tarif impor dapat diturunkan secara otomatis dengan berpatokan pada warning harga untuk menentukan kapan tarif impor diturunkan. 
Share this article :

Post a Comment

 
Copyright © 2011. KOMPETISINEWS | INFO PERSAINGAN USAHA - All Rights Reserved
Developed by kuntoprastowo | Template by Maskolis
Proudly powered by Blogger